“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang
benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik
membenci
(Ash-Shaff : 9)
”Tiga perkara bagi siapa yang mendapatkan hal
itu pada dirinya maka ia akan dapat menikmati manisnya iman. Pertama, Allah dan
Rasulnya lebih ia cintai dari pada yang lainnya; Kedua, tidak mencintai
seseorang kecuali karena Allah; Ketiga, ia benci kembali kepada kekufuran
setelah Allah selamatkan ia dari kekufuran itu, sebagaimana ia benci apabila
dicampakkan ke dalam api neraka”.
(HR Muttafaqun’alaih dari Anas bin Malik)
Pernahkah terlintas di pikiran kita, siapa yang mengecat
cabai menjadi berwarna merah, yang menjadikan ulat berubah menjadi makhluk
indah bernama kupu-kupu, memberikan air di bumi (padahal di Mars tidak ada),
menumbuhkan rambut di kepala sedangkan alis dan bulu mata tidak memanjang, dan
mendetakkan jantung kita hingga saat ini dengan irama yang teratur. Masuk akal
kah jika ada yang menjawab bahwa semua itu adalah gejala alam? Rasanya tidak.
Kita akan membuktikan hal tersebut dengan cara yang
sederhana. Coba hamburkan buku-bukumu di lantai dan biarkan tetep berserakan.
Mungkinkah buku itu lantas bergerak dengan sendirinya tersusun rapi di rak?
Tidak mungkin. Kemungkinan yang paling masuk akal adalah ada yang menyusun
buku-buku tersebut hingga rapi. Nah, jika benda mati yang demikian saja
membutuhkan sesuatu di luar dirinya untuk mengurusnya, apatah lagi makhluk
hidup yang membutuhkan makan minum, reproduksi (berkembang biak),
bersosialisasi (berkumpul dengan jenisnya) seperti kita, hewan-hewan dan juga
tumbuhan, juga seluruh alam dan isinya.
Allah swt berfirman,
“Ataukah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah
mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan
langit dan bumi itu?“ (Ath Thur: 35-36)
Jadi, Allah swt sangat penting untuk dibicarakan sebab
membicarakan Allah berarti membicarakan keberadaan kita sendiri dan seluruh
alam semesta ciptaan-Nya.
“Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia yang hidu kekal
lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.
Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi
Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara
keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.“ (Al Baqarah:255)
2. Allah
Kebutuhan Fitrah Manusia
Manusia sadar bahwa
dirinya dan apapun yang ada dialam pasti ada yang menciptakannya. Keserasian
dan keharmonisan roda kehidupan dialam ini merupakan bukti bahwa diatas semua
itu, ada zat yang luar biasa. Tak heran jika muncul beberapa aliran animisme, dinamisme,
hindhu, budha dan lain sebagainya. Itulah sebenarnya nurani kemanusiaan manusia
dan fitrah manusia yang telah ditetapkan ketentuannya. Setiap manusia
dilahirkan dalam keadaan fitrah
Maka hadapkanlah
wajahmu
dengan lurus dengan agama (islam); (ssesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidah ada perubahan pada ciptaan
Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Ar-Rum : 30)
3. Bagaimana Bisa Mengenal Allah
Keberadaan
Allah didukung oleh dalil-dalil yang kuat, yaitu
A.
Bukti yang didasarkan dan dibenarkan oleh
akal (dalil aqli)
Akal kita (asal kita tidak sombong dan
ingkar) sebenarnya bisa merasakan keberadaan Allah. Orang bisa mengatakan bahwa
alam ini tercipta dengan sendirinya, tapi pernyataan ini bisa langsung
dipatahkan dengan argumentasi yang sangat sederhana.
Ustadz Hasan Al-Banna rahimahullah, pernah
mendapat sanggahan bahwa alam ini tercipta dengan sendirinya. Sedangkan Allah
atau apapun yang menciptakan alam, itu tidak ada. Beliau dengan tenang
menjawab: ’’Jika Anda meletakkan sebuah buku di atas meja kemudian Anda keluar
dari kamar dan tak lama kemudian mendapati buku tersebut berada di dalam laci,
maka secara logis Anda akan berpendapat bahwa pasti ada orang yang memindahkannya
karena Anda tahu sifat-sifat buku yang tidak mungkin berpindah dengan
sendirinya. Lalu jika suatu ketika Anda melihat seseorang duduk di kursi
kemudian Anda meninggalkannya. Ketika Anda kembali orang tersebut tak ada lagi
di kursinya melainkan duduk di karpet, secara logis pula Anda tidak akan
bertanya siapa yang memindahkannya dari kursi ke karpet karena Anda tahu
sifat-sifatnya, bahwa ia bisa berpindah dengan sendirinya. Jadi, sifat-sifat
alam semesta ini sebagaimana sifat buku yang tadi saya umpamakan, tidak mungkin
terjadi dengan sendirinya. Sedangkan sifat-sifat Allah sejalan dengan
perumpamaan kedua. Ia pasti ada dengan sendirinya karena demikianlah sifatnya,
Ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain di luar dirinya.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (Ali Imran: 190)
Akal pikiran merupakan anugerah terdahsyat yang dimiliki manusia, dan Allah
tidak menganugerahkannya kepada makhluk selainnya. Dengan akal pikiran ini
manusia dapat belajar, mengamati, dan akhirnya menyimpulkan. Penjelajahan
inderawi manusia hanya akan menjadi data-data empiris yang tidak memberi arti
apa-apa jika tidak dibaca dengan akal pikiran manusia. Akal pikiran (logika)-lah
yang memberi arti data-data alam itu, menghubung-hubungkan, lalu
menyimpulkannya. Maka dengan mengamati fenomena alam yang terbentang ini (ayat
kauniyah), manusia dengan logikanya sesungguhnya mampu mendapatkan
pengetahuan yang sangat luas.
Para ahli filsafat abad-abad silam melakukan penjelajahan filosofinya untuk
mendapatkan sebuah hakikat maha penting, yaitu hakikat sumber dari segala alam
wujud ini. Ada beragam kesimpulan, namun banyak diantara mereka akhirnya
menyimpulkan bahwa dibalik fenomena alam ini ada sebuah ”kekuatan” yang Maha
Dahsyat, yang menciptakan alam yang maha luas ini. Jika mereka telah
mendapatkan kesimpulan adanya tuhan (what), namun mereka tidak mampu
lagi memperoleh informasi lebih lanjut tentang siapakah tuhan itu (who)?
Meskipun demikian, kesimpulan awal dari penjelajahan logika ini sudah sangat
memberi arti bagi kegelisahan jiwa manusia tatkala mereka belum mendapatkan
tuntunan wahyu dari langit yang memberi penjelajahan lebih terperinci. Mungkin,
jika para filosof ini berjumpa Nabi dengan wahyu yang dibawanya, merekalah yang
akan memberi respon positif pertama kali untuk menerimanya. Ini persis seperti
kisah petualangan Ibrahim mencari tuhan, atau kisah beberapa sahabat yang
mencari agama yang benar dan akhirnya dipertemukan dengan baginda Rasulullah
saw.
B.
Bukti yang berasal dari Al-Qur’an (dalil
naqli)
Ada seorang profesor dari Jerman yang juga
seorang dokter ahli bedah. Ia seorang yang masih kafir, tapi suka mempelajari
ilmu agama (orientalis: belajar untuk diilmui saja, bukan untuk diimani),
diantara yang dipelajarinya adalah Islam. Pada suatu hari ia menemukan ayat 92
dari surat Yunus(10) yang berbunyi;
’’Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu
supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan
sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.“
Profesor itu kemudian mencari tahu badan
siapa yang diselamatkan Allah seperti yang dimaksudkan dalam ayat itu? Akhirnya
dia menemukan jawabannya pada surat Al Baqarah ayat 50,
’’Dan (ingatlah) ketika Kami belah laut
untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan
pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.“
Dari ayat itu, sang Profesor berkesimpulan
bahwa yang dimaksudkan Allah itu adalah Fir’aun yang pernah tenggelam di Laut
Merah. Setelah mati tenggelam, Allah menyelamatkan jasadnya dengan tidak
membuatnya remuk membusuk. Menurut sejarah Mesir, mayat yang tenggelam itu
ditemukan di tepi pantai dan oleh rakyatnya, mayat Fir’aun itu dibalsem dan
dimusiumkan di Mesir. Pada tradisi Mesir kuno, mayat-mayat para raja memang
biasanya diawetkan dengan cara dibalsem menjadi mummi dan disemayamkan di
Piramida, sebuah bangunan yang tersusun dari batu berbentuk limas.
Setelah tahu hal itu, sang profesor ingin
membuktikan kebenaran ayat tersebut dengan keahlian yang ia miliki, yaitu ilmu
bedah. Ia lalu pergi ke Mesir, tempat tersimpannya mummi Fir’aun. Ternyata,
disana ia tidak hanya menemukan satu Fir’aun atau yang sering dikenal dengan
sebutan raja Ramses. Ia menemukan tiga mummi raja Ramses, yakni Ramses I, II
dan III. Lalu manakah yang dimaksud dalam surat Yunus ayat 92 itu? Untuk
menemukannya, sang Profesor menggunakan ilmu yang dimilikinya untuk membedah
ketiga mummi tersebut. Ternyata, mayat Ramses II-lah yang memiliki tanda-tanda
pernah tenggelam. Itu terlihat dari otot-otot tubuhnya yang menegang seperti
orang yang mati tenggelam. Bukti lain yang menguatkan adalah adanya salah satu
spesies ganggang laut yang ada di Laut Merah terdapat dalam tubuh mummi
tersebut.
Setelah kejadian itu, sang Profesor yang
semula kafir itu mendapat hidayah. Ia tidak lagi sekadar mempelajari agama,
namun sekaligus mengimaninya dan mengamalkan Islam. Ini salah satu contoh yang
menunjukkan bahwa dalil naqli (ayat-ayat Al-Qur’an) membuktikan
keberadaan Allah swt.
C.
Bukti Fitrah (dalil fitri)
Fitrah artinya hati nurani, nurani adalah
bisikan hati yang paling dalam. Mungkin kita sering merasakan hal-hal yang
berkaitan dengan ini, nurani tidak bisa berbohong kecuali kita mengingkarinya
atau menolaknya. Nah, keberadaan Allah itu sesuatu yang sulit disangkal oleh
nurani. Sebab, kita sejak awal sudah dibekali kesaksian tentang Allah seperti
dalam ayat berikut ini,
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan
dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini
Tuhanmu? “Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi,“(Kami
lakukan yang demikian itu) agar dihari Kiamat kamu tidak mengatakan, “ Sesungguhnya
ketika itu kami lengah terhadap ini,“. (Al-A’raaf:172)
Jadi, nurani kita sebenarnya telah terisi
kesaksian bahwa ternyata ada Dzat yang Maha Lebih Segalanya dibandingkan kita.
Ada kekuatan yang luar biasa kuat menguasai hidup kita. Ada hal-hal yang tidak
terjangkau indera kita tetapi nurani kita mengakui adanya.
Coba kita perhatikan orang-orang Barat
sekalipun yang sebagian besarnya tidak memperhatikan masalah keimanan kepada
Tuhan, pada saat-saat terjepit mereka selalu menyebut: Oh My God, atau Please
God, help me! Nah, itu hanya salah satu contoh sederhana betapa nurani
kita—jika mau jujur—ternyata mengakui bahwa Allah itu ada.
Al-Quran juga menyebutkan bahwa keimanan
kepada Allah swt merupakan pokok atau dasar, dimana setiap rukun akidah bersandar
kepadanya atau mengikutinya.
”Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab
yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang
itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 136)
Adapun keimanan kita kepada Rasulullah merupakan konsekuensi dari keyakinan
kepada Allah. Tidak mungkin seseorang meyakini adanya Rasulullah, apabila
mereka tidak beriman kepada Allah. Demikian juga, keimanan kepada kitab-kitab
dan adanya hari akhir, berdiri di atas pondasi keimanan kepada Allah. Tidak
dibenarkan secara logika bahwa seseorang mengingkari Allah tetapi meyakini
kitab-kitab Allah. Keseluruhan rukun keimanan berdiri di atas landasan iman
kepada Allah. Begitu banyak kehancuran melanda masyarakat paganis yang
mengagung-agungkan berhala. Karena kehidupan manusia hanya akan bisa berjalan
lurus dan benar apabila berada dalam bimbingan iman kepada Allah swt.
4. Tauhidullah
Pengenalan kepada Allah menuntut pengetahuan tentang
tauhid. Apakah tauhid itu? Kata at-tauhiid berasal dari kata kerja wahhada-yuwahhidu
yang berarti sikap mengesakan. Allah adalah Dzat Yang Maha Esa (Al-Ahad
dan Al Waahid).
Namun pengakuan tentang keesaan Allah sesungguhnya belum
cukup, seharusnya ditindaklanjuti dengan sikap mengesakan-Nya. Dua hal ini
harus dibedakan, karena kalau hanya pengakuan tentang bahwa Allah Maha Esa
telah diyakini oleh iblis sekalipun. Namun keyakinan ini tidak menjadikan iblis
mendapatkan ridha dari Allah swt ketika ternyata ia mengingkari perintah-Nya.
Bahkan orang-orang musyrik jahiliyah, ketika ditanya mengapa
mereka menyembah patung, mereka juga menjawab bahwa itu hanya perantara mereka
menuju Allah. Mereka tetap mengakui keesaan Allah, namun tidak mengesakan-Nya
dalam sikap (karena mereka menganggap perlunya perantara). Padahal itulah sikap
yang paling dibenci Allah, sehingga Dia berfirman,
”Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia
mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah
tersesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisaa’: 116)
Sikap tauhid kepada Allah harus bertitik tolak dari
identitas Allah sendiri, sesuai dengan pembahasan di atas. Tauhidullah dibagi
menjadi 3 macam tauhid pokok, yaitu Tauhid Rububiyah (Allah sebagai Rabb),
Tauhid Mulukiyah (Allah sebagai Malik), dan Tauhid Uluhiyah
(Allah sebagai Ilaah). Selain itu, para ulama akidah juga menambahkan
pembahasan yang dianggap sebagai bagian dari tauhid yang sangat penting, yaitu Tauhid
Asma wa Sifat (Tauhid dalam Nama dan Sifat Allah).
Hal ini dapat
disimak dalam firman Allah :
”Katakanlah:
"Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia.” (An-Naas: 1-3)
Sekarang mari kita ulas satu persatu mengenai empat
tauhidullah.
A. Pertama, Tauhid Rububiyah.
Kata rububiyah berasal dari akar kata Rabb,
yaitu zat yang menghidupkan, mematikan, menciptakan, memberi rizki, mengelola,
mengatur dan menguasai alam semesta. Tauhid rububiyah menunjukkan sebuah
keyakinan terhadap keesaan Allah, bahwa Allah adalah satu-satunya dzat yang
melakukan perbuatan (af’al) tersebut. Allah berfirman:
”Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa.” (Al
A’raf: 54)
Malam dan siang adalah fenomena dan realitas yang sengaja
diciptakan oleh Allah, sebagaimana Allah pula yang menciptakan matahari serta
rembulan.
”Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang,
matahari dan bulan. Masing-masing
dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (Al-Anbiyaa: 33)
Dialah Allah yang telah menciptakan manusia, dan
memberikan kepadanya kemampuan bicara:
”(Tuhan) Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan
Al-Quran. Dia
menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (Ar-Rahman: 1-4)
Allah swt. mengerjakan af’al-Nya dengan sangat
teratur dan rapi tanpa cela, termasuk dalam menciptakan segala sesuatu.
”Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit
dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam
kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (Al-Furqan: 2)
Sebagai kreator tunggal alam semesta ini, Allah tidak
membiarkan makhluk-Nya begitu saja, melainkan Dia pula yang memberikan rezeki
kepada seluruh manusia.
”Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian
memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali).
Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat
sesuatu dari yang demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang
mereka persekutukan.” (Ar-Rum:
40)
Bukan hanya manusia, binatang melata pun tidak ada
yang terlewatkan dari perhatian Allah swt. dalam memberikan rezeki-Nya.
”Dan tidak ada suatu binatang melata pun
di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat
berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya.” (Hud: 6)
Fenomena pemberian rezeki ini sesungguhnya telah cukup
memberikan bukti bahwa Allah satu-satunya Sang Pemberi rezeki. Lihatlah semut yang bertahan hidup, tanpa kita memberikan
sedikitpun makanan. Mereka juga bisa beranak pinak dalam jumlah banyak, tanpa
pernah takut akan rezeki anak-anaknya.
Karena itu seseorang yang memiliki sikap tauhid yang
matang tidak akan terjerumus dalam perbuatan syirik. Misalnya menganggap suatu
benda memiliki kekuatan ghaib, atau meyakini ramalan-ramalan dukun, atau
meyakini hari-hari tertentu sebagai hari bertuah, atau isyarat-isyarat tertentu
(dari binatang, atau cuaca) sebagai pertanda akan terjadinya sesuatu. Na’udzubillah.
Seorang muslim tidak boleh meyakini sesuatu yang tidak ada korelasinya dengan
konsep ilmu pengetahuan dan bisa dipahami secara ilmiah, kecuali berdasarkan
teks dalil yang terdapat dalam Al-Quran atau Hadits Rasulullah saw.
Inilah yang dimaksud tauhid rububiyah, yakni
keyakinan manusia bahwa Allah itu Esa dalam penciptaan, pemberian rezeki dan
penguasaan atas makhluk-makhluk-Nya. Fenomena
mekarnya bunga, tanaman hidup, tumbuh, membesar, berbunga dan berbuah
serta fenomena memancarnya air dari dalam tanah, mengalir melalui
sungai-sungai, menyatu di lautan, menjadi awan dan turun lagi ke tanah setelah
ditiup angin, kesemuanya itu tidak lain adalah fenomena Allah swt.
Apa yang harus kita lakukan? Apa sekedar meyakini? Sekedar yakin saja,
tidak cukup. Sebab pada hakekatnya orang-orang musyrik jahiliyah juga meyakini rububiyatullah
ini, sebagai sebuah keyakinan turun temurun sejak dulu, sejak Nabi Ibrahim as.
Orang-orang musyrik secara terang-terangan menyatakan keyakinannya akan
prinsip tauhid rububiyah. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari dalam
bersumpah, mereka menggunakan kata-kata wallahi, billahi dan tallah
(yang berarti demi Allah). Bahkan berdo’a pun mereka menyebut nama Allah. Simak
kisah mereka yang diabadikan dalam Al-Quran
berikut: ”Dan, ingatlah, ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata,
Ya Allah jika betul (Al-Quran) ini, dialah yang benar disisi Engkau, maka
hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kami azab yang pedih.”
(Al-Anfal: 32)
Tidak rasional dan tidak masuk akal, bukan? Mereka malah meminta laknat dan
siksa bukan meminta hidayah. Namun demikian kebiasan mereka dalam berdo’a dan
mengungkapkan keinginan, diawali dengan ungkapan Allahumma. Ini adalah
kesadaran ”bertuhan” yang secara fitrah dan alamiah telah ada pada diri setiap
manusia.
Kita yang mengaku beriman dan mengaku ber-Islam, tidak sama seperti
orang-orang musyrik, kita meyakini hakekat rububiyatullah, dan kita
melaksanakan konsekuensinya, dengan bertakwa kepada-Nya. Salah satunya dengan
mensyukuri segala nikmat yang Dia berikan, dan tidak sekali-sekali berani kufur
akan nikmat-nikmat-Nya. Hal ini bisa kita lakukan diantaranya dengan
memanfaatkan potensi yang kita miliki sebagai manusia, untuk ketaatan kepada
Allah swt, bukan untuk perbuatan yang sia-sia atau bahkan kefujuran.
B.
Kedua, Tauhid
Mulukiyah
Sudah disebutkan, bahwa bagi yang mengaku muslim, tauhid rububiyah
saja tidak cukup. Karenanya, perlu dilanjutkan dengan tauhid berikutnya.
Yaitu Tauhid Mulukiyah. Kata Mulukiyah berasal dari akar kata mulk,
yang dengannya terbentuk pula kata malik. Tauhid mulukiyah
berarti sebuah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya dzat yang menguasai
alam semesta ini , dengan hak penuh penetapan peraturan atas kehidupan. Tidak ada sekutu dalam kekuasaan Allah dalam alam semesta ini.
Kalau dengan sifat rububiyah-Nya, Allah berhak menentukan apa saja
untuk makhluk-Nya. Sebagai malik (yang memiliki) maka Allah adalah raja
atau penguasa. Raja menjadi berfungsi sebagai penguasa manakala ia adalah
pemimpin yang dipatuhi.
Mari kita simak, ayat demi ayat yang menjelaskan sifat-sifat Allah sebagai
pemimpin (Al-Wali) absolut dalam alam semesta, sebagai berikut: ”Dan
katakanlah: ”Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak, dan tidak
mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya.” (Al-Isra: 111)
Allah mengabarkan dirinya sebagai wali, yaitu pemimpin, pelindung,
dan penolong orang yang beriman: ”Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,
Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (Al-Maidah:
55)
Karena kekuasaan alam berada dalam diri-Nya, maka Allah pula yang
sesungguhnya berhak memberikan atau mencabut kekuasaan pada manusia: ”Katakanlah:
Ya Allah yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang
Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki. Di tangan-Mu-lah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha
Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau
masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan
Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup, dan Engkau beri rezeki kepada siapa
pun yang Engkau kehendaki tanpa hisab.” (Ali-Imran: 26-27)
Hanya orang-orang yang berhak atas kekuasan-Nya saja yang semestinya
memegang kendali kepemimpinan atas dunia ini: ”Allah memberi pemerintahan
kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah maha luas pemberian-Nya lagi maha
mengetahui.” (Al-Baqarah: 247)
Pemimpin dikatakan baru bertindak sebagai pemimpin jika aturan yang
dibuatnya dipatuhi dan diamalkan. Allah adalah Al-Hakim (yang menentukan
aturan hidup manusia), sebagaimana firman-Nya: ”Menetapkan hukum itu adalah
hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang
paling baik.” (Al-An’am: 57)
Hak penetapan hukum, peraturan hidup, ketetapan adalah di tangan Sang
Pencipta alam. Jika alam diciptakan oleh suatu Dzat, kemudian pembuat peraturan
yang diberlakukan di alam tersebut adalah zat lain yang berbeda, akan terjadi
disharmoni, bahkan bisa berujung pada kerusakan yang cepat. Karena yang
menciptakan alam adalah Allah, maka Allah lah yang paling mengetahui tentang
kapasitas alam ciptaan-Nya, maka ia menetapkan hukum dan aturan yang paling
sesuai dengan kapasitas itu: ”Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu)
kepunyaan-Nya dan Dialah pembuat penghitungan yang paling cepat.” (Al-An’am:
62)
Dan Allah menegaskan lagi: ”Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia
telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” (Yusuf: 40)
Paparan surat cinta (baca: Ayat Al-Quran) dari Allah di atas,
merupakan penguat keyakinan kita, bahwa Allah sajalah sebagai sumber hukum,
bagi peraturan di seluruh alam.
Coba kita renungi komentar Sayyid Qutb mengenai hal ini, dalam kitabnya Fii
Zhilalil Qur’an. Beliau mengatakan, ”Tak seorang pun di antara makhluk
Allah yang berhak mensyari’atkan selain apa yang telah di syari’atkan Allah dan
mengizinkan bagi sesuatu makhluk apapun. Hanya Allah sajalah yang berhak
menetapkan syari’at untuk hamba-Nya. Sebab Allah swt. itulah yang mencipta alam
dan mengaturnya dengan hukum-hukum universal yang maha besar, yang Allah
pilihkan untuknya.”
”Sedang kehidupan manusia hanyalah sebuah perisai kecil yang ada dalam roda
alam, karenanya harus diatur dengan suatu tasyri’ yang sejalan dengan
hukum-hukum itu. Sedangkan segala sesuatu selain Allah tidak berkuasa atas
peliputan itu. Ini tidak dapat diubah lagi.”
Apakah
konsekuensi pengakuan Tauhid
Mulukiyah ini?
Kalau kita sudah paham dan beriman tentang sifat Allah sebagai al-Wali
(pemimpin) dan Al-Hakim (pembuat peraturan), maka setiap apapun yang
kita lakukan harus diselesaikan dengan kehendak dan aturan-Nya. Bagaimana kita
tahu aturan-Nya? Mudah saja, kembalikan setiap urusan kita mengenai benar salah
dan baik buruknya sesuai Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah. Jikalau apa
yang kita tekuni selama ini bertentangan dengan kedua sumber hukum itu, maka
harus segera diluruskan. Oleh karenanya, Allah harus menjadi tujuan kehidupan.
Keyakinan Mulukiyatullah ini yang membedakan antara pribadi muslim
dan bukan muslim. Orang-orang kafir menolak kepemimpinan Allah, menolak hukum
Allah, dan kehidupan mereka hanya berorientasi dunia belaka, pemimpin mereka
adalah thaghut (selain Allah), sebagaimana penjelasan Allah: ”Dan
orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah thaghut yang mengeluarkan
mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itulah penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 257)
Sekarang pertanyaan bagi diri kita, yang harus segera dijawab; yang mana
kepribadian kita, muslim atau bukan? Karena bagi muslim yang telah mengenal
Allah sebagai Malik, sebagai penguasa tunggal di dunia ini, yang tidak
pernah menyerahkan kekuasaan-Nya kepada seorang makhluk pun (termasuk nabi dan
rasul), wajib menunjukkan sikap tauhid dalam hal ini. Wujudnya adalah tidak mau
meyakini keabsahan sebuah kepemimpinan, jika kepemimpinan itu tidak
memberlakukan hukum dan aturan yang seiring dengan syari’at Allah swt.
Bersamaan dengan itu, ia tidak menganggap sah sebuah undang-undang atau
konstitusi, kecuali bila undang-undang dan konstitusi tersebut sejalan dengan
tuntunan syari’at Allah.
Tauhidullah dalam mulukiyah menegaskan bahwa
loyalitas, afiliasi, kerelaan, pembelaan, dan semisalnya tidak boleh diberikan
kecuali kepada kepemimpinan atau undang-undang yang bersumber dari syari’at
Allah swt, atau undang-undang yang tidak bertentangan dengan syari’at Allah.
C.
Ketiga, Tauhid
Uluhiyah
Kalau pada topik sebelumnya kita bahas tauhid rubbubiyah dan tauhid
mulukiyah, maka sekarang kita bahas tentang Tauhid Uluhiyah. Mau
tahu lebih lengkap? Simak terus untaian hikmah berikut ini.
Uluhiyah
atau ilahiyah berasal dari kata ilah. Dalam bahasa Arab kata illah
memiliki akar kata a-la-ha yang memiliki arti antara lain: tentram,
tenang, lindungan, cinta, dan sembah. Semua makna ini sesuai dengan sifat-sifat
kekhususan Allah, diantaranya :
1.
Perasaan akan tenang dan tentram dengan
melihat Allah
”Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat
Allah, ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati akn menjadi tentram.” (Ar-Ra’d: 28)
2.
Allah tempat meminta perlindungan
”Aku
berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang
yang jahil.” (Al-Baqarah:
67)
”Dan
bahwasanya ada beberapa orang laki-laki diantara manusia meminta perlindungan
kapada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin-jin itu menambah bagi
mereka dosa dan kesalahan.” (Al-Jin: 6)
3.
Kecintaan yang amat terhadap Allah
4.
Selain makna diatas maka makna lain yang
utama adalah ’abada yang mempunyai arti antara lain, hamba sahaya (abduna),
patuh dan tunduk (ibadah), yang mulia dan agung (al ma’bud),
serta selalu mengikutinya (abada bihi). Jika diurutkan, dapat ditarik
sebuah pengertian yang logis yaitu jika seseorang memperhambakan diri terhadap
sesuatu maka ia akan mengikuti memuliakan, mengagungkan, mematuhi, dan tunduk
padanya serta bersedia mengorbankan kemerdekaan yang dimilki.
Makna Tauhid Uluhiyah adalah sebuah keyakinan bahwa Allah adalah
satu-satunya dzat yang memilki dan menguasai langit, bumi, dan seisinya,
satu-satunya yang wajib ditaati, yang menentukan hukum dan segala aturan, yang
melindungi dan Dialah yang menjadi tumpuan harapan dan kepada-Nya ditujukan semua amalan, dan
pada puncaknya, Dialah satu-satunya ilah yang maha berhak disembah.
Apa
konsekuensi kita terhadap keyakinan Tauhid Uluhiyah?
Keyakinan itu perlu ditancapkan dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan
diaplikasikan dalam perbuatan sehari-hari. Demikian pula dengan keyakinan Tauhid
Uluhiyah ini, juga punya konskuensi agar keyakinan menjadi sempurna,
diantaranya:
1.
Hanya menyembah kepada Allah tidak kepada
selain-Nya.
”Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, tidak ada ilah selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk menyembah Aku.” (Thaha: 14)
Ilah
bagi manusia bermacam-macam bentuknya, bisa berupa berhala, harta, pangkat,
jabatan, kekuasaan, keterkenalan,bahkan hawan nafsunya sendiri bisa menjadi ilah.
Tapi bagi orang yang beriman maka hanya Allah saja sebagai ilah. Setiap amal yang dilakukan bertujuan untuk mengharap keridhoaan Allah.
2.
Mencintai Allah dengan sepenuh hati
Dari
Anas ra., Rasulullah saw telah bersabda: ”Tiga perkara bagi siapa yang
mendapatkan hal itu pada dirinya maka ia
akan dapat menikmati manisnya iman. Pertama, Allah dan Rasulnya lebih ia cintai
dari pada yang lainnya; Kedua, tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah;
Ketiga, ia benci kembali kepada kekufuran
setelah Allah selamatkan ia dari kekufuran itu, sebagaimana ia benci
apabila dicampakkan ke dalam api neraka.” (Muttafaq’alaih)
Sudah
jelas, kan? Jadi, jangan sekali-kali menduakan cinta kita kepada Allah. Jikalau
kita mencintai seseorang dalam hidup kita, misalnya keluarga, teman, atau
siapapun, maka cinta kepada mereka harus menjadi bukti kecintaan kita kepada
Allah. Jangan terjebak dengan cinta ”palsu”, seperti cinta sepasang insan tanpa
keridhoan Allah karena tidak dibingkai secara syar’i.
3.
Memohon pertolongan hanya kepada Allah
Setiap hari dalam shalat, kita selalu
mengikrarkan hal ini :
”Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya
kepada-Mulah kami mohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
Jadi, hanya Allah sajalah tempat kita memohon
pertolongan akan segala hal yang terjadi kepada kita, tidak pada batu kuburan,
pada penguasa, pada jimat, pada jin, atau apapun selain-Nya.
Tauhid uluhiyah, menuntut totalitas dalam mengabdi kepada
Allah swt dalam segenap aktivitas kehidupan kita. Segala ibadah harus dilakukan
dalam rangka meraih keridhoan-Nya. Sehingga setiap amal yang akan kita lakukan
perlu dipertimbangkan dulu, Allah ridho atau tidak. Demikian pula ketika
mendapat musibah, maka Allah saja tempat meminta jalan keluar.
D.
Keempat, Tauhid
Asma Wa Sifat
Asma adalah jamak dari kata ismun, yaitu
nama-nama. Dengan demikian Tauhid asma wa
shifat berarti bahwa Allah adalah Esa dalam nama-nama dan
sifat-sifat-Nya.
Kita diperintahkan untuk menerima dan mengimani nama serta sifat Allah
sebagaimana yang disampaikan sendiri oleh Allah di dalam Al-Quran dan
Rasulullah saw dalam sunah, sebagaimana adanya, tanpa menambah, mengurangi,
mengingkari, mentakwilkan, ataupun menyerupakan dengan makhluk-Nya.
Diantara nama-nama Allah adalah sembilan puluh sembilan nama, sebagaimana
riwayat berikut: Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw bersabda, ”Allah
memiliki sembilan puluh sembilan (99) nama, seratus kurang satu. Tidaklah
seseorang menghafalnya kecuali bahwa ia akan masuk syurga. Dia itu ganjil dan
mencintai yang ganjil.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas tidak membatasi nama Allah hanya (99) nama
tersebut. Nama Allah adalah sebanyak yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan dalam
Al-Quran dan Al-Hadits shahih.
Tirmidzi meriwayatkan ke-99 nama
itu sebagai berikut :
Dia-lah Allah yang tiada
Tuhan selain Dia
|
Maha
Pengasih
|
Maha
Penyayang
|
Sang
Raja Diraja
|
|
Maha
Suci
|
Maha
Memberi
|
Rasa
aman
|
Maha
Membenarkan janji
|
Maha
Menguasai
|
Maha
Mulia
|
Maha
Perkasa
|
Maha
Sombong
|
Maha
Mencipta
|
Maha
Membuat
|
Maha
Pembentuk
|
Maha
Pengampun
|
Maha
Pemaksa
|
Maha
Pemberi
|
Maha
Menganugrahi rezeki
|
Maha
Pembuka)penakluk)
|
Maha
Mengetahui
|
Maha
Pencabut
|
Maha
Meluaskan
|
Maha
Menjatuhkan
|
Maha
Mengangkat
|
Maha
Memuliakan
|
Maha
Menghinakan
|
Maha
Mendengar
|
Maha
Melihat
|
Maha
Menetapkan Hukum
|
Maha
Adil
|
Maha
Halus(Lembut)
|
Maha
Waspada
|
Maha
Penyantun
|
Maha
Agung
|
Maha
Pengampun
|
Maha
Pembalas (rasa syukur)
|
Maha
Tinggi
|
Maha
Besar
|
Maha
Memelihara
|
Maha
Memberi Kecukupan
|
Maha
Menjamin
|
Maha
Luhur
|
Maha
Pemurah
|
Maha
Meneliti
|
Maha
Mengabulkan (do'a)
|
Maha
Luas
|
Maha
Bijaksana
|
Maha
Mencinta
|
Maha
Mulia
|
Maha
Membangkitkan
|
Maha
Menyaksikan
|
Maha
Benar
|
Maha
Memelihara Perwakilan
|
Maha
Kuat
|
Maha
Kokoh
|
Maha
Melindungi
|
Maha
Terpuji
|
Maha
Menghitung
|
Maha
Memulai
|
Maha
Mengulangi
|
Maha
Menghidupkan
|
Maha
Mematikan
|
Maha
Hidup
|
Maha
Berdiri Sendiri
|
Maha
Kaya
|
Maha
Mulia Maha Esa
|
Maha
Tempat Bergantung
|
Maha
Kuasa
|
Maha
Menentukan
|
Maha
Mendahului
|
Maha
Mengakhirkan
|
Maha
Awal
|
Maha
Akhir
|
Maha
Nyata
|
Maha
Tersembunyi
|
Maha
Menguasai
|
Maha
Suci
|
Maha
Dermawan
|
Maha
Menerima Taubat
|
Maha
Penyiksa
|
Maha
Pemaaf
|
Maha
Pengasih
|
Maha
Menguasai Kerajaan
|
Maha
Memilki Kebesaran
|
Maha memiliki kebesaran dan Kemuliaan
|
Maha
Mengadili
|
Maha
Mengumpulkan
|
Maha
Bercahaya
|
Maha
Pemberi Kekayaan
|
Maha
Mencegah
|
Maha
Memberi Kenuddharatan
|
Maha
Pemberi Manfaat
|
Maha
Lurus
|
Maha
Pemberi Petunjuk
|
Maha
Pencipta yang Baru
|
Maha
Kekal
|
Maha
Pewaris
|
Maha
Penyabar
|
Catatan: Apabila dijumpai sifat-sifat Allah yang seakan-akan sama dengan
makhluk, maka itu hanyalah kesamaan istilah; bukan kesamaan hakikat. Sebab,
pada dasarnya tidak ada yang menyamai Allah dalam zat, sifat, af’al dan
nama-Nya. Misalnya, Allah memiliki sifat maha mendengar (As-sama’i) dan
maha melihat (Al-Bashir), sedangkan manusia juga melihat dan mendengar.
Hal seperti ini tidak bermakna secara hakikat pendengaran dan penglihatan,
tetapi hanya kesamaan istilah belaka. Demikian sifat-sifat Allah lainnya, harus
tersucikan dari persekutuan dengan sifat makhluk.
”Orang-orang yang tidak percaya adanya hari Kiamat meminta agar hari itu
segera terjadi, dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka
yakin bahwa Kiamat itu adalah benar(akan terjadi). Ketahuilah bahwa
sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang terjadinya Kiamat itu
benar-banar telah tersesat jauh”. (Asy-Syuro 18)
” Dan tidak ada yang setara dengan Dia” (Al-Ikhlas 4)
Apa
Hikmah Mengenal Asma dan Sifat Allah?
Memahami dan mendalami asma dan sifat Allah sangat penting bagi kita
sebagai hamba-Nya yang beriman. Mengapa? Karena sikap kita pada sesuatu akan
ditentukan oleh sejauh mana kita mengenal sesuatu itu. Orang yang tidak
mengenal dengan baik orang lain, maka dia akan menunjukkan sikap yang kurang
tepat terhadap orang tersebut, bahkan bisa jadi salah dalam bersikap. Semakin
kenal dekat pada seseorang, maka sikap kita pada orang tersebut tentunya akan
semakin tepat ataupun tidak salah dalam bersikap.
Demikian pula hubungan kita dengan Allah, betapa pun seseorang
telah beriman, bisa jadi dia bisa salah bersikap kepada Allah, bila tidak
memahami sifat-sifat Allah. Maka, sekarang mari kita pahami dan renungkan asma
dan sifat Allah dalam Asmaul Husna. Jika kita semakin mengenal Allah kita akan
bisa lebih dekat dengan-Nya.
5. URGENSI MENGENAL ALLAH
Dalam bab ini kita dijelaskan banyak hal tentang Ma’rifatullah,
berarti sekarang kita telah benar-benar mengenal Allah. Jangan sampai kita
mengaku menyembah Allah, tetapi kita tidak begitu mengenal-Nya. Sekarang, apa
pentingnya kita mengenal Allah? Simak dan perhatikan penjelasan berikut :
A.
Istiqomah di Jalan
Allah.
Ma’rifatullah dapat mendorong seorang muslim hidup
istiqomah dalam keimanan dan takwa, termasuk istiqomah untuk menerapkan Islam
dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal ini bisa terjadi karena ia merasa selalu
diawasi Allah dalam situasi dan kondisi apapun. Ia meyakini bahwa Allah selalu
mengetahui apapun yang dia lakukan, walau sekecil apapun. Bahkan, Allah pun
tahu apa isi hati kita. Mau lari kemana pun, Allah senantiasa melihat kita.
Maka tinggal satu pilihan terbaik, istiqomah di jalan Nya.
B.
Stabil dan Optimis
”Beginilah manusia deritanya tiada
akhir”, hal ini kadang yang terucap oleh orang-orang yang tidak optimis dalam
hidupnya. Padahal perlu kita ketahui, bahwa tiada satu pun kejadian di alam ini
tanpa kuasa-Nya. Bagi orang yang mengenal Allah, ia akan menghadapi segala
kejadian dalam hidup entah itu bahagia atau nestapa dengan ketenangan dan
keoptimisan. Karena ia yakin, bahwa Allah senantiasa ada di balik segala
peristiwa dan Allah tidak pernah mendzolimi hamba-Nya. Jika mendapat
kegembiraan ia segera bersyukur, karena ini semua adalah semata karunia dari
Allah, sedangkan dikala musibah menyapa ia akan bersabar dan optimis untuk
menghadapinya, karena di setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. ”Maka
sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada kemudahan, maka bersama kesulitan
pasti ada kemudahan.” (Al-Insyirah: 5-6)
C.
Berani dan Tidak Pengecut
Keberanian adalah indikator keimanan. Berani untuk apa? Tentunya berani
untuk menghadapi hidup. Keberanian ini akan muncul ketika kita mau menyadari
bahwa hidup di dunia bukan segala-galanya. Jatah kita bernapas di dunia ini
terbatas. Masing-masing kita punya titik akhir kehidupan di dunia yaitu
kematian. Yakinilah pasti kita akan mati. Maka. untuk apa kita menjadi seorang
pengecut, yang bersembunyi dibalik kefanaan dunia? Orang yang sudah mengenal
Allah, tidak ada kata ”pengecut” baginya, dalam menyuarakan kebenaran dan
melaksanakan aturan Allah. Sayyid Qutb berkata, ”Keberanian tidak mengurangi
umur, sebagaimana kepengecutan tidak menambah umur.”
D.
Hidup Penuh Berkah
Terkadang, manusia menilai sesuatu hanya dari dimensi materi. Padahal
selain nilai materi banyak nilai-nilai non materi yang dapat diambil, nilai
inilah yang disebut berkah. Sehingga berkah sering pula disebut ziyadatul
khair (bertambahnya kebajikan). Keimanan dan kedekatan dengan Allah, akan
semakin menguatkan keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam tidak
terlepas dari kehendak-Nya, maka dengan spontan ketika melakukan perbuatan
positif ia akan menyebut asma Allah. Hal inilah yang membuat pekerjaan menjadi
sarat dengan berkah Allah. Rasulullah saw, bersabda: ”Setiap perbuatan yang
bermanfaat jika tidak dimulai dengan bismillah (dengan menyebut nama Allah)
maka pebuatan itu terputus (dari berkah).” (HR. Abu Daud, Nasa’i, Ibnu
Majah dari Abu Hurairah ra.)
E.
Ikhlas dalam
Beramal
Dengan mengenal Allah, dan mau menyadari bahwa setiap amal kebaikan akan
mendapat pahala dari-Nya, dan amal buruk akan diganjar dengan siksa-Nya, maka
seorang yang mengaku beriman memiliki orientasi amal yaitu ridha Allah, bukan
yang lain. Dalam setiap amalnya ia tidak mengharapkan balasan dari manusia,
yang ia kejar hanya ridha Allah semata. Kalaupun ia mendapatkan kebaikan dari
manusia lain karena kebaikannya, maka itu hanya ”uang muka” saja, pahala yang
Allah janjikan akan diterima di akherat kelak. Maka seiring dengan itu, ia akan
berusaha menerapkan prinsip beramal dengan benar sesuai syariat.
F.
Tidak Mudah Putus
Asa.
Kecewa, dongkol,
bimbang, emosi, benci, sedih, adalah rentetan gejolak perasaan yang membersamai
hidup manusia saat nestapa datang menyapa. Tapi, sebagai insan beriman dan
mengenal Allah, ia akan memaknai semua itu sebagai dinamika kehidupan, sehingga
tidak larut dalam keputus-asaan. Ia punya kesadaran yang kuat, bahwa apapun
yang terjadi, Allah sudah membuat skenarionya. Maka, untuk apa berputus asa?
Lebih baik kita bangkit, terus dan terus berusaha. Allah
tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya yang beriman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar