Kamis, 17 April 2014

Ma’rifatullah (Mengenal Allah)



“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci
(Ash-Shaff : 9)
”Tiga perkara bagi siapa yang mendapatkan hal itu pada dirinya maka ia akan dapat menikmati manisnya iman. Pertama, Allah dan Rasulnya lebih ia cintai dari pada yang lainnya; Kedua, tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah; Ketiga, ia benci kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan ia dari kekufuran itu, sebagaimana ia benci apabila dicampakkan ke dalam api neraka”.
(HR Muttafaqun’alaih dari Anas bin Malik)
1. Mengenal Allah lebih dalam
Pernahkah terlintas di pikiran kita, siapa yang mengecat cabai menjadi berwarna merah, yang menjadikan ulat berubah menjadi makhluk indah bernama kupu-kupu, memberikan air di bumi (padahal di Mars tidak ada), menumbuhkan rambut di kepala sedangkan alis dan bulu mata tidak memanjang, dan mendetakkan jantung kita hingga saat ini dengan irama yang teratur. Masuk akal kah jika ada yang menjawab bahwa semua itu adalah gejala alam? Rasanya tidak.
Kita akan membuktikan hal tersebut dengan cara yang sederhana. Coba hamburkan buku-bukumu di lantai dan biarkan tetep berserakan. Mungkinkah buku itu lantas bergerak dengan sendirinya tersusun rapi di rak? Tidak mungkin. Kemungkinan yang paling masuk akal adalah ada yang menyusun buku-buku tersebut hingga rapi. Nah, jika benda mati yang demikian saja membutuhkan sesuatu di luar dirinya untuk mengurusnya, apatah lagi makhluk hidup yang membutuhkan makan minum, reproduksi (berkembang biak), bersosialisasi (berkumpul dengan jenisnya) seperti kita, hewan-hewan dan juga tumbuhan, juga seluruh alam dan isinya.

Allah swt berfirman,
“Ataukah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?“ (Ath Thur: 35-36)
Jadi, Allah swt sangat penting untuk dibicarakan sebab membicarakan Allah berarti membicarakan keberadaan kita sendiri dan seluruh alam semesta ciptaan-Nya.
“Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia yang hidu kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.“ (Al Baqarah:255)
2. Allah Kebutuhan Fitrah Manusia
     Manusia sadar bahwa dirinya dan apapun yang ada dialam pasti ada yang menciptakannya. Keserasian dan keharmonisan roda kehidupan dialam ini merupakan bukti bahwa diatas semua itu, ada zat yang luar biasa. Tak heran jika muncul beberapa aliran animisme, dinamisme, hindhu, budha dan lain sebagainya. Itulah sebenarnya nurani kemanusiaan manusia dan fitrah manusia yang telah ditetapkan ketentuannya. Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus dengan agama (islam); (ssesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidah ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Ar-Rum : 30)
3. Bagaimana Bisa Mengenal Allah
Keberadaan Allah didukung oleh dalil-dalil yang kuat, yaitu
A.     Bukti yang didasarkan dan dibenarkan oleh akal (dalil aqli)
Akal kita (asal kita tidak sombong dan ingkar) sebenarnya bisa merasakan keberadaan Allah. Orang bisa mengatakan bahwa alam ini tercipta dengan sendirinya, tapi pernyataan ini bisa langsung dipatahkan dengan argumentasi yang sangat sederhana.
Ustadz Hasan Al-Banna rahimahullah, pernah mendapat sanggahan bahwa alam ini tercipta dengan sendirinya. Sedangkan Allah atau apapun yang menciptakan alam, itu tidak ada. Beliau dengan tenang menjawab: ’’Jika Anda meletakkan sebuah buku di atas meja kemudian Anda keluar dari kamar dan tak lama kemudian mendapati buku tersebut berada di dalam laci, maka secara logis Anda akan berpendapat bahwa pasti ada orang yang memindahkannya karena Anda tahu sifat-sifat buku yang tidak mungkin berpindah dengan sendirinya. Lalu jika suatu ketika Anda melihat seseorang duduk di kursi kemudian Anda meninggalkannya. Ketika Anda kembali orang tersebut tak ada lagi di kursinya melainkan duduk di karpet, secara logis pula Anda tidak akan bertanya siapa yang memindahkannya dari kursi ke karpet karena Anda tahu sifat-sifatnya, bahwa ia bisa berpindah dengan sendirinya. Jadi, sifat-sifat alam semesta ini sebagaimana sifat buku yang tadi saya umpamakan, tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Sedangkan sifat-sifat Allah sejalan dengan perumpamaan kedua. Ia pasti ada dengan sendirinya karena demikianlah sifatnya, Ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain di luar dirinya.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (Ali Imran: 190)
Akal pikiran merupakan anugerah terdahsyat yang dimiliki manusia, dan Allah tidak menganugerahkannya kepada makhluk selainnya. Dengan akal pikiran ini manusia dapat belajar, mengamati, dan akhirnya menyimpulkan. Penjelajahan inderawi manusia hanya akan menjadi data-data empiris yang tidak memberi arti apa-apa jika tidak dibaca dengan akal pikiran manusia. Akal pikiran (logika)-lah yang memberi arti data-data alam itu, menghubung-hubungkan, lalu menyimpulkannya. Maka dengan mengamati fenomena alam yang terbentang ini (ayat kauniyah), manusia dengan logikanya sesungguhnya mampu mendapatkan pengetahuan yang sangat luas.
Para ahli filsafat abad-abad silam melakukan penjelajahan filosofinya untuk mendapatkan sebuah hakikat maha penting, yaitu hakikat sumber dari segala alam wujud ini. Ada beragam kesimpulan, namun banyak diantara mereka akhirnya menyimpulkan bahwa dibalik fenomena alam ini ada sebuah ”kekuatan” yang Maha Dahsyat, yang menciptakan alam yang maha luas ini. Jika mereka telah mendapatkan kesimpulan adanya tuhan (what), namun mereka tidak mampu lagi memperoleh informasi lebih lanjut tentang siapakah tuhan itu (who)? Meskipun demikian, kesimpulan awal dari penjelajahan logika ini sudah sangat memberi arti bagi kegelisahan jiwa manusia tatkala mereka belum mendapatkan tuntunan wahyu dari langit yang memberi penjelajahan lebih terperinci. Mungkin, jika para filosof ini berjumpa Nabi dengan wahyu yang dibawanya, merekalah yang akan memberi respon positif pertama kali untuk menerimanya. Ini persis seperti kisah petualangan Ibrahim mencari tuhan, atau kisah beberapa sahabat yang mencari agama yang benar dan akhirnya dipertemukan dengan baginda Rasulullah saw.

B.     Bukti yang berasal dari Al-Qur’an (dalil naqli)
Ada seorang profesor dari Jerman yang juga seorang dokter ahli bedah. Ia seorang yang masih kafir, tapi suka mempelajari ilmu agama (orientalis: belajar untuk diilmui saja, bukan untuk diimani), diantara yang dipelajarinya adalah Islam. Pada suatu hari ia menemukan ayat 92 dari surat Yunus(10) yang berbunyi;
’’Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.“
Profesor itu kemudian mencari tahu badan siapa yang diselamatkan Allah seperti yang dimaksudkan dalam ayat itu? Akhirnya dia menemukan jawabannya pada surat Al Baqarah ayat 50,
’’Dan (ingatlah) ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.“
Dari ayat itu, sang Profesor berkesimpulan bahwa yang dimaksudkan Allah itu adalah Fir’aun yang pernah tenggelam di Laut Merah. Setelah mati tenggelam, Allah menyelamatkan jasadnya dengan tidak membuatnya remuk membusuk. Menurut sejarah Mesir, mayat yang tenggelam itu ditemukan di tepi pantai dan oleh rakyatnya, mayat Fir’aun itu dibalsem dan dimusiumkan di Mesir. Pada tradisi Mesir kuno, mayat-mayat para raja memang biasanya diawetkan dengan cara dibalsem menjadi mummi dan disemayamkan di Piramida, sebuah bangunan yang tersusun dari batu berbentuk limas.
Setelah tahu hal itu, sang profesor ingin membuktikan kebenaran ayat tersebut dengan keahlian yang ia miliki, yaitu ilmu bedah. Ia lalu pergi ke Mesir, tempat tersimpannya mummi Fir’aun. Ternyata, disana ia tidak hanya menemukan satu Fir’aun atau yang sering dikenal dengan sebutan raja Ramses. Ia menemukan tiga mummi raja Ramses, yakni Ramses I, II dan III. Lalu manakah yang dimaksud dalam surat Yunus ayat 92 itu? Untuk menemukannya, sang Profesor menggunakan ilmu yang dimilikinya untuk membedah ketiga mummi tersebut. Ternyata, mayat Ramses II-lah yang memiliki tanda-tanda pernah tenggelam. Itu terlihat dari otot-otot tubuhnya yang menegang seperti orang yang mati tenggelam. Bukti lain yang menguatkan adalah adanya salah satu spesies ganggang laut yang ada di Laut Merah terdapat dalam tubuh mummi tersebut.
Setelah kejadian itu, sang Profesor yang semula kafir itu mendapat hidayah. Ia tidak lagi sekadar mempelajari agama, namun sekaligus mengimaninya dan mengamalkan Islam. Ini salah satu contoh yang menunjukkan bahwa dalil naqli (ayat-ayat Al-Qur’an) membuktikan keberadaan Allah swt.
C.     Bukti Fitrah (dalil fitri)
Fitrah artinya hati nurani, nurani adalah bisikan hati yang paling dalam. Mungkin kita sering merasakan hal-hal yang berkaitan dengan ini, nurani tidak bisa berbohong kecuali kita mengingkarinya atau menolaknya. Nah, keberadaan Allah itu sesuatu yang sulit disangkal oleh nurani. Sebab, kita sejak awal sudah dibekali kesaksian tentang Allah seperti dalam ayat berikut ini,
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu? “Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi,“(Kami lakukan yang demikian itu) agar dihari Kiamat kamu tidak mengatakan, “ Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini,“. (Al-A’raaf:172)
Jadi, nurani kita sebenarnya telah terisi kesaksian bahwa ternyata ada Dzat yang Maha Lebih Segalanya dibandingkan kita. Ada kekuatan yang luar biasa kuat menguasai hidup kita. Ada hal-hal yang tidak terjangkau indera kita tetapi nurani kita mengakui adanya.
Coba kita perhatikan orang-orang Barat sekalipun yang sebagian besarnya tidak memperhatikan masalah keimanan kepada Tuhan, pada saat-saat terjepit mereka selalu menyebut: Oh My God, atau Please God, help me! Nah, itu hanya salah satu contoh sederhana betapa nurani kita—jika mau jujur—ternyata mengakui bahwa Allah itu ada.

Al-Quran juga menyebutkan bahwa keimanan kepada Allah swt merupakan pokok atau dasar, dimana setiap rukun akidah bersandar kepadanya atau mengikutinya.
”Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.(An-Nisa’: 136)
Adapun keimanan kita kepada Rasulullah merupakan konsekuensi dari keyakinan kepada Allah. Tidak mungkin seseorang meyakini adanya Rasulullah, apabila mereka tidak beriman kepada Allah. Demikian juga, keimanan kepada kitab-kitab dan adanya hari akhir, berdiri di atas pondasi keimanan kepada Allah. Tidak dibenarkan secara logika bahwa seseorang mengingkari Allah tetapi meyakini kitab-kitab Allah. Keseluruhan rukun keimanan berdiri di atas landasan iman kepada Allah. Begitu banyak kehancuran melanda masyarakat paganis yang mengagung-agungkan berhala. Karena kehidupan manusia hanya akan bisa berjalan lurus dan benar apabila berada dalam bimbingan iman kepada Allah swt.
4.  Tauhidullah
Pengenalan kepada Allah menuntut pengetahuan tentang tauhid. Apakah tauhid itu? Kata at-tauhiid berasal dari kata kerja wahhada-yuwahhidu yang berarti sikap mengesakan. Allah adalah Dzat Yang Maha Esa (Al-Ahad dan Al Waahid).
Namun pengakuan tentang keesaan Allah sesungguhnya belum cukup, seharusnya ditindaklanjuti dengan sikap mengesakan-Nya. Dua hal ini harus dibedakan, karena kalau hanya pengakuan tentang bahwa Allah Maha Esa telah diyakini oleh iblis sekalipun. Namun keyakinan ini tidak menjadikan iblis mendapatkan ridha dari Allah swt ketika ternyata ia mengingkari perintah-Nya.
Bahkan orang-orang musyrik jahiliyah, ketika ditanya mengapa mereka menyembah patung, mereka juga menjawab bahwa itu hanya perantara mereka menuju Allah. Mereka tetap mengakui keesaan Allah, namun tidak mengesakan-Nya dalam sikap (karena mereka menganggap perlunya perantara). Padahal itulah sikap yang paling dibenci Allah, sehingga Dia berfirman,
 ”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisaa’: 116)
Sikap tauhid kepada Allah harus bertitik tolak dari identitas Allah sendiri, sesuai dengan pembahasan di atas. Tauhidullah dibagi menjadi 3 macam tauhid pokok, yaitu Tauhid Rububiyah (Allah sebagai Rabb), Tauhid Mulukiyah (Allah sebagai Malik), dan Tauhid Uluhiyah (Allah sebagai Ilaah). Selain itu, para ulama akidah juga menambahkan pembahasan yang dianggap sebagai bagian dari tauhid yang sangat penting, yaitu Tauhid Asma wa Sifat (Tauhid dalam Nama dan Sifat Allah).
   Hal ini dapat disimak dalam firman Allah :
   ”Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia.” (An-Naas: 1-3)
Sekarang mari kita ulas satu persatu mengenai empat tauhidullah.
A.  Pertama, Tauhid Rububiyah.
Kata rububiyah berasal dari akar kata Rabb, yaitu zat yang menghidupkan, mematikan, menciptakan, memberi rizki, mengelola, mengatur dan menguasai alam semesta. Tauhid rububiyah menunjukkan sebuah keyakinan terhadap keesaan Allah, bahwa Allah adalah satu-satunya dzat yang melakukan perbuatan (af’al) tersebut. Allah berfirman:
”Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa.” (Al A’raf: 54)
Malam dan siang adalah fenomena dan realitas yang sengaja diciptakan oleh Allah, sebagaimana Allah pula yang menciptakan matahari serta rembulan.
”Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (Al-Anbiyaa: 33)
Dialah Allah yang telah menciptakan manusia, dan memberikan kepadanya kemampuan bicara:
”(Tuhan) Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (Ar-Rahman: 1-4)
Allah swt. mengerjakan af’al-Nya dengan sangat teratur dan rapi tanpa cela, termasuk dalam menciptakan segala sesuatu.
”Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (Al-Furqan: 2)
Sebagai kreator tunggal alam semesta ini, Allah tidak membiarkan makhluk-Nya begitu saja, melainkan Dia pula yang memberikan rezeki kepada seluruh manusia.
”Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (Ar-Rum: 40)
Bukan hanya manusia, binatang melata pun tidak ada yang terlewatkan dari perhatian Allah swt. dalam memberikan rezeki-Nya.
”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya.” (Hud: 6)
Fenomena pemberian rezeki ini sesungguhnya telah cukup memberikan bukti bahwa Allah satu-satunya Sang Pemberi rezeki. Lihatlah semut yang bertahan hidup, tanpa kita memberikan sedikitpun makanan. Mereka juga bisa beranak pinak dalam jumlah banyak, tanpa pernah takut akan rezeki anak-anaknya.
Karena itu seseorang yang memiliki sikap tauhid yang matang tidak akan terjerumus dalam perbuatan syirik. Misalnya menganggap suatu benda memiliki kekuatan ghaib, atau meyakini ramalan-ramalan dukun, atau meyakini hari-hari tertentu sebagai hari bertuah, atau isyarat-isyarat tertentu (dari binatang, atau cuaca) sebagai pertanda akan terjadinya sesuatu. Na’udzubillah. Seorang muslim tidak boleh meyakini sesuatu yang tidak ada korelasinya dengan konsep ilmu pengetahuan dan bisa dipahami secara ilmiah, kecuali berdasarkan teks dalil yang terdapat dalam Al-Quran atau Hadits Rasulullah saw.
Inilah yang dimaksud tauhid rububiyah, yakni keyakinan manusia bahwa Allah itu Esa dalam penciptaan, pemberian rezeki dan penguasaan atas makhluk-makhluk-Nya. Fenomena  mekarnya bunga, tanaman hidup, tumbuh, membesar, berbunga dan berbuah serta fenomena memancarnya air dari dalam tanah, mengalir melalui sungai-sungai, menyatu di lautan, menjadi awan dan turun lagi ke tanah setelah ditiup angin, kesemuanya itu tidak lain adalah fenomena Allah swt.
Apa yang harus kita lakukan? Apa sekedar meyakini? Sekedar yakin saja, tidak cukup. Sebab pada hakekatnya orang-orang musyrik jahiliyah juga meyakini rububiyatullah ini, sebagai sebuah keyakinan turun temurun sejak dulu, sejak Nabi Ibrahim as.
Orang-orang musyrik secara terang-terangan menyatakan keyakinannya akan prinsip tauhid rububiyah. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari dalam bersumpah, mereka menggunakan kata-kata wallahi, billahi dan tallah (yang berarti demi Allah). Bahkan berdo’a pun mereka menyebut nama Allah. Simak kisah mereka yang diabadikan dalam Al-Quran  berikut: ”Dan, ingatlah, ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, Ya Allah jika betul (Al-Quran) ini, dialah yang benar disisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kami azab yang pedih.” (Al-Anfal: 32)
Tidak rasional dan tidak masuk akal, bukan? Mereka malah meminta laknat dan siksa bukan meminta hidayah. Namun demikian kebiasan mereka dalam berdo’a dan mengungkapkan keinginan, diawali dengan ungkapan Allahumma. Ini adalah kesadaran ”bertuhan” yang secara fitrah dan alamiah telah ada pada diri setiap manusia.
Kita yang mengaku beriman dan mengaku ber-Islam, tidak sama seperti orang-orang musyrik, kita meyakini hakekat rububiyatullah, dan kita melaksanakan konsekuensinya, dengan bertakwa kepada-Nya. Salah satunya dengan mensyukuri segala nikmat yang Dia berikan, dan tidak sekali-sekali berani kufur akan nikmat-nikmat-Nya. Hal ini bisa kita lakukan diantaranya dengan memanfaatkan potensi yang kita miliki sebagai manusia, untuk ketaatan kepada Allah swt, bukan untuk perbuatan yang sia-sia atau bahkan kefujuran.
B.   Kedua, Tauhid Mulukiyah
Sudah disebutkan, bahwa bagi yang mengaku muslim, tauhid rububiyah saja tidak cukup. Karenanya, perlu dilanjutkan dengan tauhid berikutnya. Yaitu Tauhid Mulukiyah. Kata Mulukiyah berasal dari akar kata mulk, yang dengannya terbentuk pula kata malik. Tauhid mulukiyah berarti sebuah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya dzat yang menguasai alam semesta ini , dengan hak penuh penetapan peraturan atas kehidupan. Tidak ada sekutu dalam kekuasaan Allah dalam alam semesta ini.
Kalau dengan sifat rububiyah-Nya, Allah berhak menentukan apa saja untuk makhluk-Nya. Sebagai malik (yang memiliki) maka Allah adalah raja atau penguasa. Raja menjadi berfungsi sebagai penguasa manakala ia adalah pemimpin yang dipatuhi.
Mari kita simak, ayat demi ayat yang menjelaskan sifat-sifat Allah sebagai pemimpin (Al-Wali) absolut dalam alam semesta, sebagai berikut: ”Dan katakanlah: ”Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya.” (Al-Isra: 111)
Allah mengabarkan dirinya sebagai wali, yaitu pemimpin, pelindung, dan penolong orang yang beriman: ”Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (Al-Maidah: 55)
Karena kekuasaan alam berada dalam diri-Nya, maka Allah pula yang sesungguhnya berhak memberikan atau mencabut kekuasaan pada manusia: ”Katakanlah: Ya Allah yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu-lah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup, dan Engkau beri rezeki kepada siapa pun yang Engkau kehendaki tanpa hisab.” (Ali-Imran: 26-27)
Hanya orang-orang yang berhak atas kekuasan-Nya saja yang semestinya memegang kendali kepemimpinan atas dunia ini: ”Allah memberi pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah maha luas pemberian-Nya lagi maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 247)
Pemimpin dikatakan baru bertindak sebagai pemimpin jika aturan yang dibuatnya dipatuhi dan diamalkan. Allah adalah Al-Hakim (yang menentukan aturan hidup manusia), sebagaimana firman-Nya: ”Menetapkan hukum itu adalah hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.(Al-An’am: 57)
Hak penetapan hukum, peraturan hidup, ketetapan adalah di tangan Sang Pencipta alam. Jika alam diciptakan oleh suatu Dzat, kemudian pembuat peraturan yang diberlakukan di alam tersebut adalah zat lain yang berbeda, akan terjadi disharmoni, bahkan bisa berujung pada kerusakan yang cepat. Karena yang menciptakan alam adalah Allah, maka Allah lah yang paling mengetahui tentang kapasitas alam ciptaan-Nya, maka ia menetapkan hukum dan aturan yang paling sesuai dengan kapasitas itu: ”Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya dan Dialah pembuat penghitungan yang paling cepat.” (Al-An’am: 62)
Dan Allah menegaskan lagi: ”Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” (Yusuf: 40)
Paparan surat cinta (baca: Ayat Al-Quran) dari Allah di atas, merupakan penguat keyakinan kita, bahwa Allah sajalah sebagai sumber hukum, bagi peraturan di seluruh alam.
Coba kita renungi komentar Sayyid Qutb mengenai hal ini, dalam kitabnya Fii Zhilalil Qur’an. Beliau mengatakan, ”Tak seorang pun di antara makhluk Allah yang berhak mensyari’atkan selain apa yang telah di syari’atkan Allah dan mengizinkan bagi sesuatu makhluk apapun. Hanya Allah sajalah yang berhak menetapkan syari’at untuk hamba-Nya. Sebab Allah swt. itulah yang mencipta alam dan mengaturnya dengan hukum-hukum universal yang maha besar, yang Allah pilihkan untuknya.”
”Sedang kehidupan manusia hanyalah sebuah perisai kecil yang ada dalam roda alam, karenanya harus diatur dengan suatu tasyri’ yang sejalan dengan hukum-hukum itu. Sedangkan segala sesuatu selain Allah tidak berkuasa atas peliputan itu. Ini tidak dapat diubah lagi.”
Apakah konsekuensi pengakuan Tauhid  Mulukiyah ini?
Kalau kita sudah paham dan beriman tentang sifat Allah sebagai al-Wali (pemimpin) dan Al-Hakim (pembuat peraturan), maka setiap apapun yang kita lakukan harus diselesaikan dengan kehendak dan aturan-Nya. Bagaimana kita tahu aturan-Nya? Mudah saja, kembalikan setiap urusan kita mengenai benar salah dan baik buruknya sesuai Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah. Jikalau apa yang kita tekuni selama ini bertentangan dengan kedua sumber hukum itu, maka harus segera diluruskan. Oleh karenanya, Allah harus menjadi tujuan kehidupan.
Keyakinan Mulukiyatullah ini yang membedakan antara pribadi muslim dan bukan muslim. Orang-orang kafir menolak kepemimpinan Allah, menolak hukum Allah, dan kehidupan mereka hanya berorientasi dunia belaka, pemimpin mereka adalah thaghut (selain Allah), sebagaimana penjelasan Allah: ”Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah thaghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(Al-Baqarah: 257)
Sekarang pertanyaan bagi diri kita, yang harus segera dijawab; yang mana kepribadian kita, muslim atau bukan? Karena bagi muslim yang telah mengenal Allah sebagai Malik, sebagai penguasa tunggal di dunia ini, yang tidak pernah menyerahkan kekuasaan-Nya kepada seorang makhluk pun (termasuk nabi dan rasul), wajib menunjukkan sikap tauhid dalam hal ini. Wujudnya adalah tidak mau meyakini keabsahan sebuah kepemimpinan, jika kepemimpinan itu tidak memberlakukan hukum dan aturan yang seiring dengan syari’at Allah swt. Bersamaan dengan itu, ia tidak menganggap sah sebuah undang-undang atau konstitusi, kecuali bila undang-undang dan konstitusi tersebut sejalan dengan tuntunan syari’at Allah.
Tauhidullah dalam mulukiyah menegaskan bahwa loyalitas, afiliasi, kerelaan, pembelaan, dan semisalnya tidak boleh diberikan kecuali kepada kepemimpinan atau undang-undang yang bersumber dari syari’at Allah swt, atau undang-undang yang tidak bertentangan dengan syari’at Allah.
C.   Ketiga, Tauhid Uluhiyah
Kalau pada topik sebelumnya kita bahas tauhid rubbubiyah dan tauhid mulukiyah, maka sekarang kita bahas tentang Tauhid Uluhiyah. Mau tahu lebih lengkap? Simak terus untaian hikmah berikut ini.
         Uluhiyah atau ilahiyah berasal dari kata ilah. Dalam bahasa Arab kata illah memiliki akar kata a-la-ha yang memiliki arti antara lain: tentram, tenang, lindungan, cinta, dan sembah. Semua makna ini sesuai dengan sifat-sifat kekhususan Allah, diantaranya :
1.        Perasaan akan tenang dan tentram dengan melihat Allah
”Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah, ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati akn menjadi tentram.” (Ar-Ra’d: 28)
2.      Allah tempat meminta perlindungan
”Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang  jahil.(Al-Baqarah: 67)
”Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki diantara manusia meminta perlindungan kapada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka  dosa dan kesalahan.” (Al-Jin: 6)
3.       Kecintaan yang amat terhadap Allah
4.      Selain makna diatas maka makna lain yang utama adalah ’abada yang mempunyai arti antara lain, hamba sahaya (abduna), patuh dan tunduk (ibadah), yang mulia dan agung (al ma’bud), serta selalu mengikutinya (abada bihi). Jika diurutkan, dapat ditarik sebuah pengertian yang logis yaitu jika seseorang memperhambakan diri terhadap sesuatu maka ia akan mengikuti memuliakan, mengagungkan, mematuhi, dan tunduk padanya serta bersedia mengorbankan kemerdekaan yang dimilki.
Makna Tauhid Uluhiyah adalah sebuah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya dzat yang memilki dan menguasai langit, bumi, dan seisinya, satu-satunya yang wajib ditaati, yang menentukan hukum dan segala aturan, yang melindungi dan Dialah yang menjadi tumpuan harapan  dan kepada-Nya ditujukan semua amalan, dan pada puncaknya, Dialah satu-satunya ilah yang maha berhak disembah.
Apa konsekuensi kita terhadap keyakinan Tauhid Uluhiyah?
Keyakinan itu perlu ditancapkan dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diaplikasikan dalam perbuatan sehari-hari. Demikian pula dengan keyakinan Tauhid Uluhiyah ini, juga punya konskuensi agar keyakinan menjadi sempurna, diantaranya:
1.        Hanya menyembah kepada Allah tidak kepada selain-Nya.
”Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada ilah selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk menyembah Aku.(Thaha: 14)
Ilah bagi manusia bermacam-macam bentuknya, bisa berupa berhala, harta, pangkat, jabatan, kekuasaan, keterkenalan,bahkan hawan nafsunya sendiri bisa menjadi ilah. Tapi bagi orang yang beriman maka hanya Allah saja sebagai ilah. Setiap amal yang dilakukan bertujuan untuk mengharap keridhoaan Allah.

2.      Mencintai Allah dengan sepenuh hati
Dari Anas ra., Rasulullah saw telah bersabda: ”Tiga perkara bagi siapa yang mendapatkan  hal itu pada dirinya maka ia akan dapat menikmati manisnya iman. Pertama, Allah dan Rasulnya lebih ia cintai dari pada yang lainnya; Kedua, tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah; Ketiga, ia benci kembali kepada kekufuran  setelah Allah selamatkan ia dari kekufuran itu, sebagaimana ia benci apabila dicampakkan ke dalam api neraka.” (Muttafaq’alaih)
Sudah jelas, kan? Jadi, jangan sekali-kali menduakan cinta kita kepada Allah. Jikalau kita mencintai seseorang dalam hidup kita, misalnya keluarga, teman, atau siapapun, maka cinta kepada mereka harus menjadi bukti kecintaan kita kepada Allah. Jangan terjebak dengan cinta ”palsu”, seperti cinta sepasang insan tanpa keridhoan Allah karena tidak dibingkai secara syar’i.
3.       Memohon pertolongan hanya kepada Allah
      Setiap hari dalam shalat, kita selalu mengikrarkan hal ini :
”Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada-Mulah kami mohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
Jadi, hanya Allah sajalah tempat kita memohon pertolongan akan segala hal yang terjadi kepada kita, tidak pada batu kuburan, pada penguasa, pada jimat, pada jin, atau apapun selain-Nya.
Tauhid uluhiyah, menuntut totalitas dalam mengabdi kepada Allah swt dalam segenap aktivitas kehidupan kita. Segala ibadah harus dilakukan dalam rangka meraih keridhoan-Nya. Sehingga setiap amal yang akan kita lakukan perlu dipertimbangkan dulu, Allah ridho atau tidak. Demikian pula ketika mendapat musibah, maka Allah saja tempat meminta jalan keluar. 
D.  Keempat, Tauhid Asma Wa Sifat
Asma adalah jamak dari kata ismun, yaitu nama-nama. Dengan demikian Tauhid asma wa  shifat berarti bahwa Allah adalah Esa dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Kita diperintahkan untuk menerima dan mengimani nama serta sifat Allah sebagaimana yang disampaikan sendiri oleh Allah di dalam Al-Quran dan Rasulullah saw dalam sunah, sebagaimana adanya, tanpa menambah, mengurangi, mengingkari, mentakwilkan, ataupun menyerupakan dengan makhluk-Nya.
Diantara nama-nama Allah adalah sembilan puluh sembilan nama, sebagaimana riwayat berikut: Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw bersabda, ”Allah memiliki sembilan puluh sembilan (99) nama, seratus kurang satu. Tidaklah seseorang menghafalnya kecuali bahwa ia akan masuk syurga. Dia itu ganjil dan mencintai yang ganjil.” (HR. Bukhari dan Muslim)
      Hadits di atas tidak membatasi nama Allah hanya (99) nama tersebut. Nama Allah adalah sebanyak yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan dalam Al-Quran dan Al-Hadits shahih.
            Tirmidzi meriwayatkan ke-99 nama itu sebagai berikut :
Dia-lah Allah yang tiada
Tuhan selain Dia
Maha Pengasih
Maha Penyayang
Sang Raja Diraja
Maha Suci
Maha Memberi
Rasa aman
Maha Membenarkan janji
Maha Menguasai
Maha Mulia
Maha Perkasa
Maha Sombong
Maha Mencipta
Maha Membuat
Maha Pembentuk
Maha Pengampun
Maha Pemaksa
Maha Pemberi
Maha Menganugrahi rezeki
Maha Pembuka)penakluk)
Maha Mengetahui
Maha Pencabut
Maha Meluaskan
Maha Menjatuhkan
Maha Mengangkat
Maha Memuliakan
Maha Menghinakan
Maha Mendengar
Maha Melihat
Maha Menetapkan Hukum
Maha Adil
Maha Halus(Lembut)
Maha Waspada
Maha Penyantun
Maha Agung
Maha Pengampun
Maha Pembalas (rasa syukur)
Maha Tinggi
Maha Besar
Maha Memelihara
Maha Memberi Kecukupan
Maha Menjamin
Maha Luhur
Maha Pemurah
Maha Meneliti
Maha Mengabulkan (do'a)
Maha Luas
Maha Bijaksana
Maha Mencinta
Maha Mulia
Maha Membangkitkan
Maha Menyaksikan
Maha Benar
Maha Memelihara  Perwakilan
Maha Kuat
Maha Kokoh
Maha Melindungi
Maha Terpuji
Maha Menghitung
Maha Memulai
Maha Mengulangi
Maha Menghidupkan
Maha Mematikan
Maha Hidup
Maha Berdiri Sendiri
Maha Kaya
Maha Mulia Maha Esa
Maha Tempat Bergantung
Maha Kuasa
Maha Menentukan
Maha Mendahului
Maha Mengakhirkan
Maha Awal
Maha Akhir
Maha Nyata
Maha Tersembunyi
Maha Menguasai
Maha Suci
Maha Dermawan
Maha Menerima Taubat
Maha Penyiksa
Maha Pemaaf
Maha Pengasih
Maha Menguasai Kerajaan
Maha Memilki Kebesaran
Maha memiliki kebesaran dan Kemuliaan
Maha Mengadili
Maha Mengumpulkan
Maha Bercahaya
Maha Pemberi Kekayaan
Maha Mencegah
Maha Memberi Kenuddharatan
Maha Pemberi Manfaat
Maha Lurus
Maha Pemberi Petunjuk
Maha Pencipta yang Baru
Maha Kekal
Maha Pewaris
Maha Penyabar

Catatan: Apabila dijumpai sifat-sifat Allah yang seakan-akan sama dengan makhluk, maka itu hanyalah kesamaan istilah; bukan kesamaan hakikat. Sebab, pada dasarnya tidak ada yang menyamai Allah dalam zat, sifat, af’al dan nama-Nya. Misalnya, Allah memiliki sifat maha mendengar (As-sama’i) dan maha melihat (Al-Bashir), sedangkan manusia juga melihat dan mendengar. Hal seperti ini tidak bermakna secara hakikat pendengaran dan penglihatan, tetapi hanya kesamaan istilah belaka. Demikian sifat-sifat Allah lainnya, harus tersucikan dari persekutuan dengan sifat makhluk.
”Orang-orang yang tidak percaya adanya hari Kiamat meminta agar hari itu segera terjadi, dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa Kiamat itu adalah benar(akan terjadi). Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang terjadinya Kiamat itu benar-banar telah tersesat jauh”. (Asy-Syuro 18)
” Dan tidak ada yang setara dengan Dia” (Al-Ikhlas 4)
Apa Hikmah Mengenal Asma dan Sifat Allah?
Memahami dan mendalami asma dan sifat Allah sangat penting bagi kita sebagai hamba-Nya yang beriman. Mengapa? Karena sikap kita pada sesuatu akan ditentukan oleh sejauh mana kita mengenal sesuatu itu. Orang yang tidak mengenal dengan baik orang lain, maka dia akan menunjukkan sikap yang kurang tepat terhadap orang tersebut, bahkan bisa jadi salah dalam bersikap. Semakin kenal dekat pada seseorang, maka sikap kita pada orang tersebut tentunya akan semakin tepat ataupun tidak salah dalam bersikap.
         Demikian pula hubungan kita dengan Allah, betapa pun seseorang telah beriman, bisa jadi dia bisa salah bersikap kepada Allah, bila tidak memahami sifat-sifat Allah. Maka, sekarang mari kita pahami dan renungkan asma dan sifat Allah dalam Asmaul Husna. Jika kita semakin mengenal Allah kita akan bisa lebih dekat dengan-Nya. 

5.  URGENSI MENGENAL ALLAH
Dalam bab ini kita dijelaskan banyak hal tentang Ma’rifatullah, berarti sekarang kita telah benar-benar mengenal Allah. Jangan sampai kita mengaku menyembah Allah, tetapi kita tidak begitu mengenal-Nya. Sekarang, apa pentingnya kita mengenal Allah? Simak dan perhatikan penjelasan berikut :
A.  Istiqomah di Jalan Allah.
Ma’rifatullah dapat mendorong seorang muslim hidup istiqomah dalam keimanan dan takwa, termasuk istiqomah untuk menerapkan Islam dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal ini bisa terjadi karena ia merasa selalu diawasi Allah dalam situasi dan kondisi apapun. Ia meyakini bahwa Allah selalu mengetahui apapun yang dia lakukan, walau sekecil apapun. Bahkan, Allah pun tahu apa isi hati kita. Mau lari kemana pun, Allah senantiasa melihat kita. Maka tinggal satu pilihan terbaik, istiqomah di jalan Nya.
B.   Stabil dan Optimis
 ”Beginilah manusia deritanya tiada akhir”, hal ini kadang yang terucap oleh orang-orang yang tidak optimis dalam hidupnya. Padahal perlu kita ketahui, bahwa tiada satu pun kejadian di alam ini tanpa kuasa-Nya. Bagi orang yang mengenal Allah, ia akan menghadapi segala kejadian dalam hidup entah itu bahagia atau nestapa dengan ketenangan dan keoptimisan. Karena ia yakin, bahwa Allah senantiasa ada di balik segala peristiwa dan Allah tidak pernah mendzolimi hamba-Nya. Jika mendapat kegembiraan ia segera bersyukur, karena ini semua adalah semata karunia dari Allah, sedangkan dikala musibah menyapa ia akan bersabar dan optimis untuk menghadapinya, karena di setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. ”Maka sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada kemudahan, maka bersama kesulitan pasti ada kemudahan.” (Al-Insyirah: 5-6)
C.   Berani dan Tidak Pengecut
Keberanian adalah indikator keimanan. Berani untuk apa? Tentunya berani untuk menghadapi hidup. Keberanian ini akan muncul ketika kita mau menyadari bahwa hidup di dunia bukan segala-galanya. Jatah kita bernapas di dunia ini terbatas. Masing-masing kita punya titik akhir kehidupan di dunia yaitu kematian. Yakinilah pasti kita akan mati. Maka. untuk apa kita menjadi seorang pengecut, yang bersembunyi dibalik kefanaan dunia? Orang yang sudah mengenal Allah, tidak ada kata ”pengecut” baginya, dalam menyuarakan kebenaran dan melaksanakan aturan Allah. Sayyid Qutb berkata, ”Keberanian tidak mengurangi umur, sebagaimana kepengecutan tidak menambah umur.”
D.  Hidup Penuh Berkah
Terkadang, manusia menilai sesuatu hanya dari dimensi materi. Padahal selain nilai materi banyak nilai-nilai non materi yang dapat diambil, nilai inilah yang disebut berkah. Sehingga berkah sering pula disebut ziyadatul khair (bertambahnya kebajikan). Keimanan dan kedekatan dengan Allah, akan semakin menguatkan keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam tidak terlepas dari kehendak-Nya, maka dengan spontan ketika melakukan perbuatan positif ia akan menyebut asma Allah. Hal inilah yang membuat pekerjaan menjadi sarat dengan berkah Allah. Rasulullah saw, bersabda: ”Setiap perbuatan yang bermanfaat jika tidak dimulai dengan bismillah (dengan menyebut nama Allah) maka pebuatan itu terputus (dari berkah).” (HR. Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra.)
E.   Ikhlas dalam Beramal
Dengan mengenal Allah, dan mau menyadari bahwa setiap amal kebaikan akan mendapat pahala dari-Nya, dan amal buruk akan diganjar dengan siksa-Nya, maka seorang yang mengaku beriman memiliki orientasi amal yaitu ridha Allah, bukan yang lain. Dalam setiap amalnya ia tidak mengharapkan balasan dari manusia, yang ia kejar hanya ridha Allah semata. Kalaupun ia mendapatkan kebaikan dari manusia lain karena kebaikannya, maka itu hanya ”uang muka” saja, pahala yang Allah janjikan akan diterima di akherat kelak. Maka seiring dengan itu, ia akan berusaha menerapkan prinsip beramal dengan benar sesuai syariat.
F.   Tidak Mudah Putus Asa.
Kecewa, dongkol, bimbang, emosi, benci, sedih, adalah rentetan gejolak perasaan yang membersamai hidup manusia saat nestapa datang menyapa. Tapi, sebagai insan beriman dan mengenal Allah, ia akan memaknai semua itu sebagai dinamika kehidupan, sehingga tidak larut dalam keputus-asaan. Ia punya kesadaran yang kuat, bahwa apapun yang terjadi, Allah sudah membuat skenarionya. Maka, untuk apa berputus asa? Lebih baik kita bangkit, terus dan terus berusaha. Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya yang beriman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar